MK Izin Kampus Tempat Kompanye, FDM Menilai Harus di Kontrol Bersama

0
156
MK Izin Kampus Tempat Kompanye, FDM Menilai Harus di Kontrol Bersama

Jakarta – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai izin kampanye peserta pemilu di lembaga pendidikan telah menjadi topik yang memuat hal-hal yang hangat di masyarakat. Terdapat berbagai respon tidak terkecuali FDM sebagai wadah demokrasi pemuda.

“Kami FDM terkhusus Dewan Pimpinan Pusat terus melakukan kajian secara intens dan mandalam terkait keputusan MK ini,” ungkap Ilham Selaku Direktur DPP FDM. Jum’at, 01 September 2023.

Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu mengeluarkan keputusan yang memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas Pendidikan hal ini menuai pro dan kontra, berikut hasil keputusannya;

Dalam institusi pendidikan, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) Nomor 65/PUU-XXI/2023 telah menjadi subjek diskusi tentang kampanye. Dalam keputusannya, MK menyatakan bahwa penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sepanjang frasa “fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan” bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945.

Dalam menentukan keputusannya, MK menemukan bahwa terdapat persoalan ambiguitas norma antara Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu dan penjelasannya. Menurut MK, penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu menimbulkan ketidakpastian hukum, yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

“MK memutuskan bahwa penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu tidak sesuai dengan ketentuan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan karena penjelasan tersebut berisi standar pengeculian maka dari itu keputusan ini di ambil kira-kira itu yang menjadi kajian hukum kami di DPP FDM,” terang Ilham Direktur DPP FDM.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, seperti yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PP), berisi lampiran II. Penjelasan, menurut Lampiran II UU PPP, digunakan untuk menjelaskan standar batang tubuh yang tidak boleh mengakibatkan ketidakjelasan standar tersebut. Oleh karena itu, penjelasan tidak menggunakan rumusan yang mengandung perubahan tersembunyi dalam peraturan perundang-undangan.” Lanjut Fendi Koordinator Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia DPP FDM.

– Bayangan Suram dan Harapan Kampanye Kedepan

Putusan MK yang seperti diatas memunculkan banyak pro dan kontra yang di sisi lain pro karena sebagai Upaya meningkatkan pengetahuan dan Pendidikan politik untuk Masyarakat terutama di Lembaga Pendidikan.

“Seperti kita tahu pendidikan politik masih menjadi problem di tengah kehidupan demokrasi kita sehingga harapannya dengan keputusan ini mampu memberikan efek edukasi kepada Masyarakat terkait pendidikan politik tapi tidak itu saja kira ada hal aspek lagi yang akan berdampak positif akibat keputusan ini yaitu kebebasan Berpendapat dan Berpolitik serta adanya Transparansi dan Pertanggungjawaban, seperti kita tahu kualitas demokrasi di Indonesia terus mengalami penurunan,” ungkap Asrizal Koordinator Bidang Organisasi & Pengembangan SDM DPP FDM kepada awak media Ketika dikonfirmasi.

“Tetapi tentu bukan hanya pandangan pro akan hal ini tapi adapula pandangan atau ketakutan yang akan terjadi, sehingga kita akan memandang suram perhelatan demokrasi kedepan,” lanjutnya.

“Pandangan suram akan demokrasi kedepan dapat dilihat dari empat aspek. Pertama, Gangguan terhadap Proses Pendidikan. Kedua, Manipulasi dan Pengaruh. Ketiga, Ketidaknetralan Lembaga Pendidikan. Keempat, Polarisasi, jadi bisa kita bayangkan dalam konteks pemilu kedepan dalam tahap kampanye ada Lembaga Pendidikan yang mengundang salah-satu capres dan capres lainnya tidak diundang karena ada saling beda pilihan sehingga polarisasi tidak bisa terhindarkan sehingga kami menilai ini akan berdampak buruk terhadap ekosistem demokrasi kita kedepan,” terang Asrizal kepada Awak Media.

Sekolah dan kampus akan dimobilisasi untuk kampanye yang diresahkan. Pihak-pihak dalam satu sekolah dan kampus juga akan memiliki preferensi atau pilihan politik yang berbeda.

Meski MK sudah membuat keputusan. Yang dulunya dilarang secara total untuk tempat pendidikan berubah menjadi tempat kampanye seperti tempat ibadah. Namun, aturan semula tetap berlaku, tempat pendidikan boleh menjadi tempat kampanye asalkan tidak memiliki atribut yang diperlukan dan diundang oleh pemilik tempat.

FDM mengusulkan bahwa lembaga pendidikan dan kampus dapat mengadakan forum daripada kampanye. Diskusi intelektual, yang bersifat edukatif dan tidak provokatif, adalah bentuk yang paling cocok dan lebih mudah untuk dterima dan diterapkan.

“Institusi pendidikan ini memiliki banyak pemilih pemula, sehingga pemerintah bertanggung jawab untuk mengajarkan pemilih pemula tentang politik. Jika tidak ada itu, adegan tawuran dan kekerasan akan muncul. Seperti yang sering dilihat, bahkan pemilihan presiden BEM atau DEMA tidak berjalan lancar, apalagi pemilihan presiden Indonesia dan kami juga menyarankan kepada untuk mengganti frasa kampanye jadi lebih kepada forum yang lebih bersifat edukatif dan tidak ada unsur provokatif,” tutur Asrizal.

– Peran Berbagai Stakeholder Bukan Hanya Penyelenggara: KPU dan Bawaslu di Minta Awasi Ketat

Kekwatiran yang terjadi diatas menjadikan banyak pihak termasuk DPP FDM mendorong stakeholder terkait untuk melakukan pengawasan yang lebih ketat karena institusi pendidikan yang diharapkan netral tanpa adanya tendensi politik praktis itu dan polarisasi itu terjadi.

“Mendorong para stakeholders atau pemerintah yang terkait baik KPU maupun Bawaslu serta pihak lain untuk melakukan pengawawsan yang ketat dan tidak menganggu proses pembelajaran terjadi akibat dari keputusan ini,” terang Fikram Kasim Koordinator Bidang Kerjasama & Hubungan Antar Lembaga.

Meski keputusan MK ini final dan mengikat tapi banyak pihak menyayangkannya sehingga hal yang bisa dilakukan sekarang adalah antisipasi dari pihak penyelenggara baik KPU maupun Bawaslu.

“KPU harus memperincikan peraturan kampanye di institusi pendidikan agar tidak mengganggu pembelajaran. Setelah MK memutuskan hal ini, KPU harus segera merevisi peraturan kampanye terkait lokasi kampanye, apakah hanya diadakan di SMA setingkat, atau berapa lama kampanyenya untuk menghindari terganggunya proses pembelajaran,” Ungkap Faiz Balya Selaku Sekretaris Jenderal DPP FDM.

“Karena ketika muncul berita mengenai kekhawatiran bahwa Lembaga Pendidikan bisa menjadi arena kampanye politik, dan pandangan Forum Demokrasi Milenial (FDM) terhadap hal tersebut menjadi sorotan. Beberapa Lembaga Pendidikan telah menjadi tempat bagi aktivitas politik yang intens, yang mencakup kampanye, diskusi, dan propaganda politik,” lanjut Faiz.

Forum Demokrasi Milenial (FDM), sebuah kelompok advokasi yang mewakili pandangan dan aspirasi kaum muda dalam hal politik dan sosial, telah mengeluarkan pernyataan terkait masalah ini. Mereka berpendapat bahwa perlunya adanya kontrol bersama untuk memastikan bahwa Lembaga Pendidikan tetap fokus pada tujuan utamanya, yaitu memberikan pendidikan yang berkualitas kepada para siswa dan siswa.

“Kami dari DPP FDM menggarisbawahi pentingnya menjaga netralitas dan kemandirian lembaga pendidikan dari pengaruh politik yang berlebihan. Peran serta stakehlders sangat diperlukan. Kami juga menyoroti bahwa lingkungan pendidikan haruslah bebas dari tekanan politik yang dapat mengganggu proses pembelajaran dan perkembangan intelektual siswa. Pandangan FDM mengenai kontrol bersama mencakup kolaborasi antara pihak-pihak terkait, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Tujuannya adalah untuk menciptakan lingkungan belajar yang seimbang dan sehat, dimana siswa dapat fokus pada pendidikan tanpa adanya gangguan atau tekanan politik yang tidak perlu,” ungkap Ilham selaku Direktur DPP FDM.

Meskipun demokrasi dan partisipasi politik penting, FDM menekankan bahwa Lembaga Pendidikan seharusnya tetap menjadi tempat netral di mana siswa dapat berkembang secara akademis dan swasta tanpa terbebani oleh agenda politik tertentu.

FDM berpendapat bahwa upaya pengawasan bersama dari pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat diperlukan untuk mencegah penggunaan Lembaga Pendidikan sebagai tempat kampanye politik yang intensif. Mereka mengimbau untuk mengembalikan fokus pendidikan ke dalam ruang kelas dan menciptakan lingkungan belajar yang bebas dari tekanan politik.

“Ia kita harus berkaloborasi dengan pihak terkait bukan hanya KPU dan Bawaslu karena ketakutan ketakutan kedepan akan kualitas demokrasi yang akan memburuk akibat keputusan ini akan semakin jelas adanya, kami berharap focus Lembaga pendidikan menciptakan lingkungan belajar yang bebas dari tekanan politik,” ungkap DPP FDM.

Selain itu, FDM juga mendorong agar lembaga pendidikan lebih aktif dalam mengedukasi siswa atau siswa mengenai pentingnya pemahaman yang mendalam terhadap isu politik, serta memberi mereka keterampilan penting yang diperlukan untuk menganalisis informasi politik dengan bijak. Perdebatan mengenai peran Lembaga Pendidikan dalam konteks kampanye politik dan upaya menjaga netralitas serta kualitas pendidikan akan terus menjadi topik yang relevan dan perlu dibahas oleh berbagai pihak.

FDM menyatakan bahwa pendidikan seharusnya tidak dipolitisasi secara berlebihan. Mereka mendukung gagasan bahwa lembaga-lembaga pendidikan harus menjadi tempat netral di mana siswa dapat mengembangkan pemahaman mereka tanpa terpengaruh oleh agenda politik tertentu. Mereka mendorong pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat untuk bekerja sama dalam mengatur aktivitas politik di dalam lingkungan pendidikan.

Kelompok ini juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara berpendapat kebebasan dan menjaga kualitas pendidikan. FDM berpendapat bahwa pendidikan yang berkualitas adalah kunci untuk membentuk generasi yang kritis dan berpikiran terbuka, serta mampu memberikan kontribusi positif pada masyarakat.

Dalam konteks ini, Forum Demokrasi Milenial mengajak semua pihak untuk menghindari penggunaan lembaga pendidikan sebagai panggung politik, sambil tetap menghormati hak setiap individu untuk berpartisipasi dalam proses politik dengan cara yang sesuai dan teratur. (Rls/PMS20)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini