Format Pemilu 2024: Perempuan, Polarisasi, Politik Identitas dan Tantangan Regresi Demokrasi Indonesia

0
131

Arga Makmur – Perempuan adalah tiang negara, jika baik perempuannya maka baiklah negaranya dan jika rusak perempuannya maka rusak pula negaranya. Ungkapan filosofis junjungan agung itu tentu tidak asing ditelinga, begitulah peradaban dunia dibangun, begitu penting peranannya hingga diletakkan sebagai penopang peradaban.

Tidak berlebihan rasanya jika perempuan disebut sebagai mahluk mulia, seorang ibu yang dicitrakan sebagai sosok agung serta dimuliakan dalam semua unsur bahkan derajatnya tiga tingkat melebihi pasangannya yakni laki-laki. Namun, tak bisa disangkal, sebagian besar orang masih menganggap perempuan adalah mahluk lemah dan parahnya masih banyak yang mencitrakan bahwa perempuan sebagai alat pemuas nafsu semata.

Dilahirkan sebagai perempuan merupakan anugerah terbesar, bahkan Bung karno acap kali mengatakan posisi perempuan di sebuah negara sangat penting dalam menentukan kemana arah peradaban negara dan dunia hendak dituju.

Dalam penelitiannya, H.R. Holst membuktikan bahwa ketajaman otak perempuan dan laki-laki sama, kemampuannya sama, hanya kesempatan bekerja dan berkembang saja yang tidak sama. Jadi boleh dikatakan bahwa keterlibatan perempuan dalam berbagai bidang memiliki peran sangat berarti dalam upaya mencapai tujuan pembangunan di Indonesia dan dunia karena perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki.

Persepsi itu juga tidak bisa disalahkan karena lahir dari pengalaman hidup bersama perempuan. Ada banyak kisah tentang ketergantungan sangat tinggi perempuan kepada laki-laki. Kisah tentang bagaimana perempuan menjadi kaum primordial yang tidak punya peran lain selain peran domestik dalam rumah tangga. Belum lagi sejarah panjang tentang gender di masa silam yang harus diperjuangkan oleh para perempuan hebat di masa lalu. Sebut saja Kartini minsalnya yang begitu sulit memperjuangkan lahirnya emansipasi.

Perempuan dan Globalisasi

Kondisi perempuan saat ini sangatlah jauh berbeda dengan kondisi perempuan pada masa lalu, sekarang perempuan telah merasakan kebebasan atas hak-hak yang diperjuangkan pada masa lalu. Namun emansipasi perempuan dijadikan kedok kebebasan yang sebebas-bebasnya oleh kaum perempuan yang sangat miris dilakukan pada zaman millenial ini. Contohnya sebagian kaum perempuan dengan kebebasannya untuk memperdagangkan diri dalam balutan gaun seksi, ada juga perempuan dengan kecantikannya terhubung dalam jaringan gelap prostitusi, ada pula perempuan yang ingin menyamai laki-laki, dan ada banyak perempuan yang dengan bangga menjadi pelacur serta hal tersebut bukan menjadi hal yang tabu oleh perempuan. Dengan demikian bahwa kebebasan tersebut malah menghancurkan derajat para perempuan dan emansipasi sendiri kehilangan maknanya.

Era globalisasi seperti saat ini kebudayaan Barat telah masuk dalam berbagai aspek kehidupan, peradaban pun telah mengarah ke Barat. Globalisasi tentu saja berdampak pada pola pemikiran serta pola kehidupan masyarakat Indonesia. Kaum perempuan diarahkan dalam kehidupan yang bermewah-mewah karena tuntutan zaman, sebagian besar masyarakat dimanjakan dengan kecanggihan alat-alat elektronik masa kini. Hingga trend menjadi kebutuhan masyarakat khususnya perempuan, kemudian mereka diarahkan dalam kehidupan yang lebih hedonis, serta dampak lainnya seperti menjadi manusia yang anti social karena mementingkan kehidupannya sendiri, serta mengarahkan perempuan dalam gaya hidup lebih matrealistis karena dituntut untuk bermewah-mewah.

Dengan gaya hidup perempuan di era globalisasi seperti ini, sebagian besar perempuan tidak memahami peran dan posisinya dalam masyarakat, ada juga yang lupa akan sejarah perjuangan perempuan, ada pula perempuan yang hidup dengan kebebasan yang seluas-luasnya. Tak jarang mereka para perempuan juga melupakan aturan-aturan dalam masyarakat meskipun tidak tertulis.

Tidak hanya dalam kehidupan masyarakat secara luas, dalam ruang lingkup kehidupan perempuan yang menyandang gelar sebagai mahasiswi juga tidak jauh berbeda dengan pola kehidupan masyarakat secara umum. Masih banyak mahasiswi yang apatis terhadap permasalahan-permasalahan di lingkungan sekitar atau yang biasa kita sebut dengan mahasiswi anti sosial. Selain itu ada pula mahasiswi yang kuliah karena terinspirasi dengan film drama yang bermewah-mewah, senang-senang, dan jalan-jalan sehingga perkuliahan hanya dijadikan sebuah status. Padahal dahulu untuk pendidikan yang setara, bebas, dan setingggi- tingginya untuk perempuan di perjuangkan dengan susah payah oleh pejuang emansipasi perempuan. Dalam era globalisasi seperti saat ini, ada juga perempuan dengan gelar mahasiswi yang semakin memanjakan media social, padahal dengan memanjakan media social tanpa henti tentu saja secara otomatis akan menyita waktu seorang penggunanya, apalagi pengguna tersebut adalah seorang mahasiswi dimana dalam usia perkuliahan lebih di tuntut untuk produktif. Sehingga dengan memanjakan media social produktifitas mahasiswi akan berkurang, dan dengan keadaan seperti ini akan menjadikan mahasiswi sebagai penonton atas segala kondisi yang terjadi dalam lingkungan masyarakat. Berikutnya ada pula mahasiswi yang takut berekspresi, dalam forum kajian keperempuanan misalnya, masih banyak diantara mereka yang takut mengekspresikan dirinya dalam sebuah forum milik bersama tersebut. Kaum perempuan yang menyandang gelar mahasiswi merasa belum merdeka meskipun telah ada emansipasi perempuan, mereka bagai macan di luar dalam konteks “jalan-jalan” tetapi ketika di forum mereka diibaratkan “putri malu”. Doxa yang sering muncul dalam masyarakat dalam hal ini ialah “Tong Kosong”. Wacana tersebut tentu saja dapat menggambarkar kehidupan sebagian besar perempuan sebagai mahasiswi, karena dalam perspektif masyarakat, seseorang yang telah menyandang gelar mahasiswa ialah seseorang yang menguasai bidang pendidikannya serta sosialnya. Namun realita yang terjadi terhadap mahasiswa masa kini tidak memahami bidang pendidikannya sendiri yang menjadi fokus pendidikan dalam perkuliahan.

Jika kita bandingkan kembali maka kondisi saat ini lebih baik dari pada kondisi masa lalu. Dimana masa kini para perempuan telah memiliki kesempatan untuk bersaing di kancah public maupun domestic, sudah banyak perempuan karir di masa kini, dan para ibu rumah tangga juga sudah menguasai berbagai keterampilan. Hal tersebut seharusnya dimanfaatkan oleh perempuan masa kini untuk bersaing dalam berbagai bidang karena tuntutan lapangan pekerjaan. Bukan malah sebaliknya, mereka generasi muda perempuan lebih memilih menghabiskan waktu untuk bersenang- senang hingga lupa belajar dan mengarah pada kehidupan yang matrealistis serta hedonis.

Era globalisasi ini peran perempuan tidak hanya dalam keluarga untuk melayani suami dan anak, namun bebas untuk berkiprah dalam kancah public maupun domestic dengan tetap memperhatikan tugasnya dalam keluarga. Dengan kata lain bahwa perempuan masa kini dapat berkontribusi dalam segala bidang kehidupan masyarakat tanpa ada diskriminasi pembagian kerja. Dalam pasal 65 ayat 1 Undang- Undang nomor 12 tahun 2003 mengenai keterwakilan sekurang- kurangnya 30% perempuan dalam politik merupakan bentuk nyata untuk perempuan berperan dalam ranah politik.

Globalisasi yang semakin meracuni generasi bangsa, dan tidak sedikit perempuan yang terlena dengan kemewahan dan kecanggihan. Kemudian akan mempengaruhi keterwakilan perempuan dalam pembangunan bangsa, sehingga tidak ada lagi pembuktian bahwa perempuan mampu berdiri membangun bangsa. apabila dibiarkan terus- menerus maka generasi muda perempuan bangsa Indonesia akan menjadi generasi yang bimbang, tanpa masa depan yang pasti, tanpa pengetahuan yang luas, apalagi jika di tambah dengan semakin merosotnya moral perempuan masa kini. Derajat seorang perempuan direndahkan oleh dirinya sendiri, hal ini jauh dari makna emansipasi R.A Kartini untuk meninggikan derajat perempuan Indonesia.

Kemudian disusul lagi dengan tuntutan perempuan yang merasa di batasi geraknya, masih menuntut kesetaraan, menuntut keadilan gender, dan lain sebagainya. Disamping itu perempuan tidak berfikir secara rasional terhadap keadaan. Selalu berteriak emansipasi perempuan, tetapi tidak membuktikan dirinya layak untuk berkontribusi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat.

Lalu, Bagaimana Peran Perempuan dalam Pemilu, Mencegah Polarisasi dan Politik Edentitas?

Di Indonesia, sejak Kongres Perempuan pertama kali pada 22 Desember 1928 peningkatan keterlibatan perempuan dirana publik terus meningkat, semenjak itulah kesempatan perempuan untuk menjajaki ranah publik sebenarnya semakin terbuka lebar akibat munculnya semangat untuk mendorong kesetaraan gender dari organisasi internasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal tersebut ditegaskan dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination af All Forms of Discrimination against Women) atau CEDAW yang ditetapkan pada 18 Desember 1979. Selanjutnya, Indonesia meratifikasi konvensi tersebut ke dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1984 sebagai penegasan agar terwujudnya persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia dengan menghapus praktek diskriminasi yang menghambat kemajuan perempuan.

Atas dasar mempunyai kesempatan yang sama dirana public itulah perempuan bergerak semua bidang, tak terkecuali dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan terus meberikan pendidikan kepada keluarga utamanya anak-anak yang notabane sebagai pewaris peradaban ini.

Ketua Bawaslu RI, Rahmad Bagja memprediksi pemilu yang akan datang tren politik identitas akan semakin marak digunakan dalam perhelatan demokrasi mendatang. Faktor penyebab politik identitas yaitu adanya pemahaman yang belum tuntas soaI menjaga toleransi dan eksistensi tiap identitas dalam ruang politik di NKRI. Bahkan ada faktor kecerobohan atau kesengajaan individu maupun politikus tertentu dalam berkomunikasi yang menyinggung psikoIogi massa serta terakhir faktor media (mainstream dan media sosial) hal semacam itulah yang akan berakibat polarisasi di tengah masyarakat, lebih-lebih Indonesia masyarakay yang majemuk.

Maka disinilah peran perempuan akan diuji, karena pada dasarnya pendikan keluarga di rumah amat sangat menentukan. Para perempuan dituntut “menanamkan perbedaan itu keniscayaan” terhadap anak dan keluarganya, sara yang berakibat pembelahan tidak akan terjadi. Ingat Aristoteles pernah berkata politik maupun demokasi itu adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama bukan perpecahan.

Dalam perwujudan kebaikan bersama tersebut maka diperlukan peran perempuan dalam mendidik keluarganya sedari alam kandungan, tancapkan pada keluarga bahwa pemilu tak lebih dari pertandingan/kompetisi. Sebagai sebuah kompetisi maka para kompetitor bertarung untuk memenangkannya, untuk memenangkan kompetisi berbagai cara dan strategi diupayakan bahkan poltik identitas tidak boleh dipolitisir. Format pemilu mendatang haruslah mengedepankan kemanusiaan, adil dan beradab, tonjolkan persatuan.

Oleh: Eli Pergonita, S.H. (Pegiat Pemilu dan Pemerhati Demokrasi Indonesia)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini