Rejangtoday.com – Kurang lebih 3 minggu lagi menuju pesta demokrasi, Masyrakat Indonesia akan mementukan siapa pemimpinnya selama lima tahun kedapan. Bukan hanya menentukan pemilihan presiden tetapi masyarakat Indonesia juga akan memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dewan Perwakilan Rakyat merupakan salah satu lembaga tinggi Negara dalam system ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat ini terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.
Namun sayangnya menurut hemat penulis sosialsiasi tentang pemilihan anggota legislative ini masih dirasa kurang. Kebanyakan dari kita hanya focus pada pemilihan presiden saja, hal ini sangat disayangkan mengingat peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat ini sangat penting dalam system pemerintahan kita. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis akan menjabarkan tentang perjalanan para Calon legislative, dimulai dari pengeluaran yang digunakannya, souvenir dan buah tangan yang diberikannya, termasuk money politik atau amplop uang yang dibagikannya untuk membeli suara kita. Hal ini penulis lakukan untuk mengedukasi dan saling mengingatkan kita bersama agar bisa memilih pemimpin yang tepat, benar dan amanah. Kita harus berkomitmen untuk bersama-sama mewujudkan pemilu yang bukan hanya sekedar kondusif damai dalam pelaksanaan tetapi juga mewujudkan pemimpin berkualitas yang berkompeten. Sebagai peserta pemilih kita harus bijak dan mengetahui bagaimana perjalanan para caleg, jangan sampai satu amplop yang diberikannya dapat merubah hak suara kita, karena setiap pilihan kita akan menimbulkan konsekuensi kedepannya. Berikut ini penulis jabarkan perjalanan para Caleg, sebagai masukan dan pertimbangan untuk kita semua peserta pemilih.
1. Pengeluaran Caleg
Ketika memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai Calon Legislatif maka seorang caleg harus menyiapakan pengeluaran yang harus ia bayar, Pengularan Caleg merupakan hal yang asti terjadi bagia setiap calonn. Berdasarkan sumber data yang penulis dapat dari Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz, memperkirakan nilai ongkos seorang caleg untuk menjadi anggota DPR bisa mencapai belasan miliar rupiah. Dilansir dari Kompas.com angka pasti total dana kampanye, sebut Donal, sangat sulit didapatkan apalagi dipastikan hal ini disebabkan karena tidak bisa mendapatkan data riil, karena para caleg tidak jujur dan tidak akan pernah terbuka masalah anggaran kampenye kepada public. Laporan keuangan yang dibuat caleg pun tak bisa menjadi pegangan karena tidak menunjukkan situasi nyata di lapangan.
2. Politik Uang
Diluar dana-dana “wajib” yang keluar dari kantong caleg, ternyata ada pula biaya-biaya “tersembunyi” yang kerap harus mereka ongkosi. Dana-dana ini bahkan bisa jadi lebih besar dibandingkan dana kampanye yang dilaporkan ke publik. Dana ini keluar sejak sebelum mereka ditetapkan sebagai caleg hingga di hari pemungutan suara. Dana-dana ini biasanya meruapakn dana misteri yang tak pasti dan tau tau keberadaanya dana inilah yang kemudian disebut sebagai politik uang. Bentuknya dapat berupa jual beli suara maupun serangan fajar. Dalih yang sering digunakan, praktik jual beli suara terjadi akibat ketatnya persaingan caleg untuk untuk memenangkan kontestasi. Politik uang yang kerap ada dalam setiap pemilihan juga terjadi dalam bentuk serangan fajar. Amplop-amplop berisi sejumlah uang ini diberikan kepada warga untuk memastikan seorang caleg benar-benar dipilih di hari pemungutan suara.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengungkapkan suburnya politik uang dalam pemilihan legislatif ini tak lepas dari sistem proporsional terbuka yang digunakan untuk menentukan lolos tidaknya caleg ke parlemen. Sementara dalam sistem proporsional tertutup, partai akan membiayai para calegnya untuk berkampanye atas nama partai. Parpol terkesan membiarkan kondisi ini terjadi untuk lepas dari tanggung jawab mendanai kampanye ribuan caleg. Yang terjadi kini, sumber pemasukan parpol selama pemilu mayoritas berasal dari caleg. Jumlahnya sangat dominan. Catatan KPU pada Pemilu 2014 menunjukkan caleg menjadi tulang punggung pembiayaan kampanye. Dari total Rp 2,19 triliun dana kampanye parpol, sumbangan caleg mencapai Rp 1,81 triliun atau setara 82,65 persen total penerimaan. Data ini berasal dari laporan 12 partai politik kepada KPU pada saat itu. Porsi dana dari caleg jauh melampaui sumber lain pemasukan parpol selama kampanye yang berasal dari perseorangan, dana partai, hingga perusahaan. Parpol juga tutup mata manakala caleg kesulitan mendapat pendanaan untuk kampanye hingga akhirnya harus mencari dari cara-cara tidak halal.
3. Kampanye Gila-Gilaan, Celah Korupsi saat Terpilih
Kampenye jor-joran yang dilakukan seorang caleg dengan dana fantastis bisa berefek panjang di kemudian hari. Bagi caleg yang mengandalkan modal dari sponsor atau pihak ketiga, bisa jadi ada “kesepakatan” dari pihak pendonor yang harus dituruti sang caleg jika terpilih nanti. Tak ada makan siang yang gratis! Bisa juga caleg terpilih nantinya justru sibuk mengembalikan harta kekayaannya yang terkuras selama pelaksanaan kampanye. Data Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarkat (LPEM) FE UI, memperkirakan besaran pengeluaran seorang caleg bervariasi antara Rp 1,18 miliar sampai Rp 4,6 miliar. Jumlah itu berdasarkan penelitian Pemilu 2014.
Sedangkan pengeluaran di atas angka Rp 8 miliar dikategorikan tidak wajar, mengingat pendapatan seorang Anggota DPR dalam masa jabatan lima tahun sekitar Rp 5 miliar. Jika ada kekurangan gaji yang didapat dibandingkan ongkos saat menjadi caleg, bayang-bayang korupsi akan terus menghantui. Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengungkapkan besarnya ongkos politik selama kampanye menjadi salah satu faktor banyaknya politisi yang terjerat kasus korupsi. Dilansir dari Kompas.com “Sangat mungkin akan mendorong atau menimbulkan efek domino korupsi ketika para pejabat ini menduduki jabatannya. Sepanjang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri hingga saat ini, ada 166 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) dan 72 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terjerat kasus korupsi. Jumlah ini menunjukkan bahwa praktik korupsi yang melibatkan anggota legislatif berlangsung secara masif. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya yaitu persoalan di internal partai yang terjadi. Salah satunya terkait kaderisasi. Partai belum tentu mengangkat kadernya yang memiliki rekam jejak panjang di partai untuk menjadi calon pemimpin. Sehingga, siapapun yang bermodal besar bisa menjadi caleg. Kader yang baik dari dalam parpol menjadi tidak bisa berkompetisi. . Karena sebagian dari Partai Politik tidak mempertimbangan siapa-siapa Caleg yang akan maju dalam pemilihan, saat ini kebanyakan dari Caleg yang maju dalam pemilihan meruapkan caleg yang memiliki dana yang banyak, walaupun ia tidak memiliki cukup kemmapuan ketika ia memiliki anggran maka ia akan tetap maju dalam pemilihan.
Faktor lain yang membuat seorang caleg akhirnya korupsi begitu terpilih dan lolos ke Senayan adalah besarnya kewajiban mereka untuk menyokong pendanaan parpol. Sebagian besar kebutuhan operasional kantor dibebankan kepada kadernya yang menduduki posisi-posisi di legislatif maupun eksekutif. Ada iuran wajib yang harus disetorkan dengan jumlah cukup besar. Semakin tinggi level kedudukannya, akan semakin besar pula sumbangan wajib yang harus disetor ke kas partai.
Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengungkapkan, KPK pernah melakukan kajian terhadap perilaku korupsi anggota-anggota DPRD di sejumlah daerah. Sebagian besar mengeluhkan potongan besar yang dilakukan partai terhadap gaji para anggota DPRD. Sumbangan wajib tiap bulan itu belum lagi ditambah dengan sumbangan acara-acara partai seperti musyawarah nasional (munas) dan rapat koordinasi (rakor). Tak hanya itu, anggota legislatif juga kerap dibebani oleh konstituennya. Ini juga menjadi persoalan serius. Pahala menjelaskan, konstituen kerap kali meminta uang atau bantuan lainnya kepada anggota legislatif untuk kepentingan mereka. Biasanya permintaan itu disampaikan melalui proposal-proposal tertentu. Suka atau tidak suka, anggota legislafif seringkali memenuhi permintaan konstituennya. Karena, kata Pahala, apabila tidak dilayani, kelompok konstituen bisa mengancam untuk tak lagi memilih yang bersangkutan jika mencalonkan diri kembali.
Situasi itu yang seperti inilah yang menjadi salah satu pendorong anggota legislatif melakukan korupsi dengan menyalahgunakan wewenangnya. Mulai dari ongoks yang tinggi, pengeluaran yang banyak, modal kampanye terdahulu yang begitu membengkak. biaya partai politik yang sering dibebankan kepada caleg, proposal-porposal dari setiap intansi yang masuk dan lagi-lagi memaksa para anggota lesislatif untuk mengeluarkan kantongnya, terlebih jika dulu mereka dibantu oleh orang-orang yang memang memiliki kepentangan orang tersebut akan menagih janjinya. Biaya hidup yang sennatiasa bermewah-mewah keerluan yang banyak dan pengeluaran yang tinggi juga mendorong untuk melakukan korupsi. Praktik korupsi di DPRD itu tak jauh berbeda dengan yang terjadi di tingkat DPR. Sekitar 60 persen kasus korupsi yang ditangani KPK, melibatkan aktor politik. Sebagian besar diisi oleh anggota DPRD dan DPR. Dengan fakta ini, menjadi pr kita bersama untuk memperbaiki tatanan hendaknya kita mengunakan hak suara kita dengan objektif dan tidaak terpengaruh hanya dengan amplop yang berisikan uang 200 riu sampai 500 ribu. Kasus-kasus korupsi yang melibatka para Dewan Perwakilan harus kita dituntaskan bersama. Salah satunya dengan mengunakan hak suara memilih para pemimpin yang tepat yang memikirkan rakyatnya bukan pemimpin yang hanya sibuk memperkaya dirinya sendiri dan tidak mempedulika hidup rakyatnya. Mari kita komitmen sungguh-sungguh dan melibatkan semua pihak untuk mencegah korupsi di sektor legislatif.
Perbaikan system politik di Indonesia termasuk dalam hal pencegahan korupsi korupsi ini tidak akan berjalan dengan lancar jika kita hanya berpangu kepada instansi pengyrus seperti KPK, Bawaslu (Badan Pengawan Pemilu), KPU (Komsi Pemilihan Umum) beserta jajarannya seperti PPK, PPS dan lainnya. Perbaikan sistem politik di Indonesia haruslah diprakasai oleh setiap masyrakat Indonesia. Mari kita bersama-sama perbaiki system untuk mewujudkan system politik di Indonesia yang lebih baik, jangan mudah terpengaruhi dengan omongan caleg terlebih pada mereka yang menawarkan uang karena nantinya ketika mereka sudah terpilih mereka tidak akan memperhatikan kita tetapi sibuk mengambilikan ongkos pengeluaran mereka pasca kemapnye dulu. Mari gunakan hak suara anda, jangan lupa 14 Februari datang ke TPS (Tempat Pemungutan Suara).
Oleh: Cici Trisna, S.Sos. (Kader PMII Bengkulu)