Jakarta – Seiring perkembangan teknologi yang semakin pesat, digitalisasi telah menjadi tema sentral kehidupan ekonomi pada millennium baru. Merujuk pada Cambridge Dictionary, digitalisasi bermakna konversi berbagai bentuk berkas dalam bentuk yang dapat dipahami, diolah serta disimpan oleh komputer (format elektronik). Dalam kurun waktu dua dekade kita telah menyaksikan bagaimana berbagai berkas dalam kehidupan secara progresif telah bergeser dari format fisik menjadi elektronik. Dimulai dari gambar, foto kemudian suara, saat ini bahkan kontak emosional telah ada dalam format elektronik (seperti emoticon dan ekspresi lain yang dilakukan via social media).
Teknologi digital telah melewati fase pengenalan, konversi dan penyimpanan dan saat ini telah memasuki fase pengolahan-analitis-komunikasi. Teknologi sensor telah mampu menangkap informasi super rumit seperti aroma, rasa dan emosi untuk dikonversi dan disimpan secara digital. Data dan informasi tersebut selanjutnya telah dapat diolah dan dikomunikasikan kepada pengguna; kemampuan yang disebut sebagai neuromorphic computing Komputer tidak hanya dapat merespon permasalahan rasional yang dimiliki manusia (cognitive ability) seperti mencari harga produk termurah tetapi juga permasalahan emosional (emotional ability) seperti perasaaan kesepian. Teknologi ini akan menjadi salah satu penopang digital banking ke depan.
Disamping neuromorphic computing, Bank Digital akan ditopang oleh beberapa pilar teknologi lain Open Banking, Data-Driven Analytics, Smart Partnership, Cyber security dan Cloud Computing. Bank akan semakin tergantung kepada sumber-sumber data yang tidak dapat diperoleh sendiri seperti aktivitas sosial media, belanja dan aktivitas personal seperti olah raga, hobby dan keluarga. Untuk memperoleh data tersebut maka bank mengadopsi prinsip open banking, bank tentu harus membuka akses data pada dirinya untuk dapat memperoleh data dari pihak lain (ini adalah prinsip take and give).Pertukaran data dan informasi seperti ini memerlukan kemitraan yang solid dengan pihak-pihak terkait (smart partnership) serta memerlukan suatu protocol pengamanan khusus (cyber security).
Penawaran produk dan layanan akan bergeser dari karakter sapu jagat menjadi menyesuaikan kebutuhan (tailored made) dan karakter pengguna (personalized). Hal ini sangat dimungkinkan dengan keberadaan data yang ekstensif yang diperoleh melalui open banking system. Data yang dimiliki akan bersifat terstruktur (seperti informasi keuangan) maupun unstructured (seperti kondisi emosional dan psikologis). Frekuensi akuisisi data mungkin tidak lagi hitungan hari tetapi mungkin sekali detik.
Bank digital akan melakukan penawaran produk berbasis momentum, misalnya seorang menginginkan piknik keluarga (dan membutuhkan pinjaman) setelah melihat suatu iklan atau kontak sosial media dari teman. Bisnis ini akan sangat tergantung pada neuromorphic computing dan data driven. Untuk dapat melakukan hal tersebut tentu membutuhkan sumber daya yang luar biasa. Apakah hanya bank-bank terbesar yang dapat melakukan ini? Belum tentu, keberadaan cloud computing memungkinkan bank-bank skala menengah untuk melakukan hal yang sama. Karakter shared service dan pay per use menjadikan cloud computing sebagai pilihan yang sangat efisien.
IBM memprediksi bahwa delivery channel bank akan banyak berientasi pada mode self-service dan smart branch. Aktivitas seperti menerima setoran, melakukan pembayaran uang, transfer, cetak mutasi dan pembukaan rekening telah dilakukan oleh mesin. Pekerjaan yang dilakukan manusia dibatasi pada peran advisory dan help desk. Dengan demikian kehadiran bank hanya perlu dalam bentuk anjungan (dengan luas sekitar 6 m2).
Smart branch dengan 1-5 orang petugas berukuran 10-140 m2 dapat dibuat sesuai dengan kompleksitas produk-layanan atau tujuan brand awareness (dan reputasi).KPMG mengusulkan paradigma digital banking yakni menyelaraskan kebutuhan nasabah terkait kendali versus pengetahuan. Kendali adalah kebutuhan nasabah akan penentuan besaran (frekuensi dan nominal) transaksi sedangkan pengetahuan (knowledge) dikaitkan dengan pemahaman akan adanya suatu informasi dan transaksi. Seluruh transaksi dengan bank dapat dikategorikan dalam 4 kuadran produk-layanan berdasarkan skala kendali dan pengetahuan.
Kuadran produk-layanan yang paling sophisticated adalah orchestrate dimana nasabah membutuhkan kendali dan pemahaman yang tinggi. Suatu ilustrasi kebutuhan semacam ini adalah optimalisasi anggaran bagi suatu perusahaan. Dalam menjalankan bisnisnya persuhaan akan menghadapi dinamika pergerakan harga2 input dan output serta proses produksi.
Setelah mempelajari data terkait pergerakan dan proses tersebut maka bank dapat memberikan usulan untuk bauran input dan atau peningkatan proses produksi; yang dapat meningkatkan profitabilitas perusahaan. Ketika kebutuhan baik kendali maupun knowledge adalah rendah; maka bank dapat menawarkan produk yang bersifat automate. Contoh kongkret adalah pembayaran otomatis terhadap tagihan2 rutin yang memiliki nominal kecil-sedang. Terdapat produk layanan untuk kuadran kendali tinggi-knowledge rendah (disebut aggregator); misalnya pemantauan harga2 kebutuhan produksi. Sedangkan layanan simulasi pembayaran cicilan kredit (dalam berbagai scenario suku bunga) adalah contoh kuadrat kendali rendah-pemahaman tinggi (disebut validate).
Digitalisasi Perbanakan di Indonesia dapat dikatakan cukup progresif. Jumlah cabang (kantor) bank telah terpangkas dari 32.720 pada tahun 2016 menjadi 28.530 per Februari 2022 (kontraksi sebesar 11.7%). Semua bank besar (aset diatas Rp. 100 Triliun) telah memiliki suatu platform digital banking atau anak perusahaan digital bank. Terdapat setidaknya 5 stand-alone bank digital yang siap berkompetisi untuk mengisi ceruk pasar nasabah yang digital native.
Bagaimana prospek pasar bagi perbankan digital? Kajian dari Kementerian Informasi memperkirakan nominal ekonomi digital di Indonesia akan mencapai Rp. 1738 Triliun pada tahun 2025. Disisi lain, survey dari Bank Dunia pada tahun 2017 menunjukkan bahwa tingkat inklusi keuangan di Indonesia tergolong rendah. Indikator orang dewasa yang memiliki rekening di institusi finansial hanya mencapai 49%, dibawah India (80%) dan Thailand (82%). Sekilas disini terlihat potensi pasar yang besar; tapi kita juga perlu memperhatikan bahwa alasan tidak memiliki rekening di institusi finansial adalah karena tidak memiliki dana (72%). Dengan demikian pengembangan bank digital mungkin lebih diarahkan pada pendalaman dan mendorong penjualan kepada nasabah existing.
Studi yang dilakukan oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa belum ada bank di Indonesia dapat dikategorikan sebagai digital native (Hendarta, 2019). Mayoritas bisnis digital bank adalah ad hoc atau modifikasian dari bisnis konvensional. Hal ini dikonfirmasi oleh studi yang dilakukan oleh OJK pada tahun 2021 yang melekukan evaluasi terhadap berbagai dimensi digital banking seperti data, teknologi, manajemen risiko, kolaborasi, tatanan institusi dan nasabah yang memberikan nilai disekitar 53 pada skala 0-100.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa pengembangan digital banking adalah bersifat gradual bukan revolusioner. Hal ini memang sudah seharusnya mengingat bisnis bank adalah bisnis kepercayaan yang menjunjung tinggi kehati-hatian. Kita perlu memperhatikan dua aspek kritikal dalam pengembangan digitalisasi perbankan. Pertama adalah terkait dengan data dan yang kedua adalah terkait dengan teknologi. Open banking mempersyaratkan komunikasi data antar para pihak tidak hanya secara smooth tetapi juga aman (secured). Nilai jual utama dari digital banking adalah kemudahan dan kenyamanan transaksi yang ditopang oleh teknologi. Banyak aplikasi teknologi ini bersifat terdepan (frontier) dengan celah risiko belum teridentifikasi dengan baik; infrastruktur digital juga masih belum terlalu mendukung. Dengan demikian terdapat risiko operasional, fraud atau mis selling; yang perlu mendapat perhatian.
Penulis: Johandri, Mahasiswa Akuntasi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta.