Meningkatkan Partisipasi Pemilih Pemula Melalui Literasi Digital

0
378

A. Pendahuluan

Pemilu di Indoneisa merupakan suatu wujud nyata dari demokrasi dan menjadi sarana bagi rakyat dalam menyatakan kedaulatannya terhadap negara dan pemerintah. pemilu berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pemilu diselenggarakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan indikator implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat (kedaulatan rakyat), yang dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam pesta demokrasi (Pemilu). Pemilihan umum dapat dikatakan sebagai salah satu sarana demokrasi dan bentuk perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemimpin yang aspiratif, berkualitas, serta bertanggung jawab untuk mensejahterakan rakyat.

Dalam pemilihan Umun ada beberapa aspek yang menarik untuk di bahas salah satunya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan. Suatu kategori kelompok pemilih yang sangat menarik untuk diamati dan diteliti lebih jauh adalah pemilih pemula. Pemilih Pemula adalah pemilih-pemilih yang baru pertama kali akan memberikan suaranya dalam Pemilu. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk partisipasi politik pemilih pemula dalam pemilu, faktor-faktor pendukung partisipasi politik pemilih pemula dalam pemilu serta faktor-faktor penghambat partisipasi politik pemilih pemula dalam pemilu. Terutama di era 4.0 saat ini, segala hal sudah terdigitalisasi. Maka hendaknya proses peningkatan partisipasi politik pemilih pemula juga dilakukan secara digital dengan berbagai upaya salah satunya peningkatan pengetahuan pemilih pemula dengan literasi digital.

B. Pembahasan

Literasi adalah kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. Sehingga literasi tidak hanya sebatas kemampuan seseorang membaca dan menulis tetapi juga bagaimana kemampuan seseorang mengelola dan memahami informasi yang di dapat sebagai suatu pengetahuan baru.

Literasi digital atau kemelekan digital (melek digital) adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum sesuai dengan kegunaannya dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.

Paul Gilster mendefinisikan literasi digital sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber dengan sangat luas yang diakses melalui piranti komputer. UNESCO sendiri menguraikan bahwa literasi digital adalah kecakapan yang tidak hanya melibatkan kemampuan penggunaan perangkat teknologi, informasi dan komunikasi, tetapi juga melibatkan kemampuan untuk dalam pembelajaran bersosialisasi, sikap berpikir kritis, kreatif, serta inspiratif sebagai kompetisi digital.

Salah satu bentuk pengaplikasian dari kemampuan literasi digital yaitu melalui penggunaan dalam hal pengaksesan, penemuan, pengevaluasian, pemanfaatan informasi mengenai kegiatan pemilihan umum sebagai wujud partisipasi politik para pemilih pemula. Pemilih pemula merupakan suatu kelompok pemilih yang baru pertama kali turut berpartisipasi dalam menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum (Bakti dkk, 2012).

Sebagai generasi kelompok pemilih yang tumbuh berkembang di era digital maka para pemilih pemula pun turut serta beradaptasi dengan perkembangan kontemporer yang ada terkait dengan proses pencarian informasi (information searching) politiknya. Kelompok pemilih tersebut menggunakan media online sebagai bahan rujukan informasi politiknya dan sekaligus mengkombinasikannya dengan bermacam media lainnya.

Aktivitas perpolitikan di era saat ini, tidak hanya terjadi secara fisik semata, melainkan saat ini aktivitas perpolitikan mulai memasuki ke ranah virtual. Segala aktivitas politik yang terjadi di media digital tentunya membawa dampak terhadap perkembangan informasi yang tersebar secara massif di media digital. Informasi yang tersebar secara massif tersebut, semakin menyulitikan para pemilih pemula dalam mengumpulkan informasi dalam membangun pengetahuan politik. Pasalnya informasi yang beredar di media digital tidak selalu memiliki kebenaran, banyak juga informasi yang bersifat palsu dan menyesatkan. Terlebih lagi, kecenderungan kalangan anak muda yang hanya memanfaatkan media digital sebagai sarana hiburan, dapat membuat kemampuan berfikir kritis mereka dalam menganalisis informasi di media digital menjadi kurang terasah dengan terampil, Sehingga semakin menyultikan para pemilih pemula dalam memilah informasi yang didapatkannya. Oleh karena itu penguasaan kemampuan literasi digital sangat diperlukan oleh kalangan pemilih pemula, agar dalam proses pencarian informasi, evaluasi informasi hingga pemanfaatan informasi dapat di implementasikan secara maksimal dalam bentuk partisipasi politik bagi para pemilih pemula.

Namun fenomena saat ini menurut (Perangin-angin & Zainal, 2018) pemilih pemula cenderung lebih memanfaatkan media sosial sebagai rujukan berita dan informasi politiknya. kecenderungan pemilih pemula memilih media sosial sebagai sumber informasinya karena mereka sudah terbiasa dan akrab dengan penggunaan media sosial, hal tersebut dibuktikan dengan hasil penelitian (Abadi & Putri, 2016) yang menunjukkan bahwa pemilih pemula mengetahui dan mengenal calon presiden dan wakil presiden melalui media digital 70.43% sedangakat dari media cetak sebesar 28,28%. Lalu hal itu dipertegas oleh data penelitian yang diungkapkan oleh (Ratnamulyani & Maksudi, 2018) memaparkan bahwa akses informasi pemilih pemula terkait dengan pemilu di dapat dari media sosial yaitu twitter sebanyak 35 %, Facebook 28%, Instagram 28%. Dari berbagai data tersebut menunjukkan bahwasanya kecenderungan pemilih pemula memenuhi kebutuhan informasi terkait pengetahuan politiknya, cenderung memanfaatkan media sosial sebagai sumber pengetahuan politknya.

Pemilih pemula yang cenderung memanfaatkan media sosial daripada situs resmi dalam mengumpulkan informasinya perlu untuk mengembangkan kemampuan evaluasi informasi ketika menelusuri media sosial agar dapat mengidentifikasi berbagai informasi palsu serta menyesatkan. Banyaknya informasi yang beredar di media sosial terlebih menjelang pilkada atau pesta demokrasi yang syarat akan kepentingan, semakin menyulitkan kalangan pemilih pemula dalam mencari informasi faktual di media sosial. Terlebih informasi yang beredar di media sosial pada saat ini banyak juga mengandung berita palsu/hoax. Tingginya informasi palsu yang beredar di media sosial diungkapkan oleh (Mastel, 2019) yang bahwa saluran penyebar berita informasi hoaxs 87.50% berasal dari media sosial, 67.50% berasal dari aplikasi chatting, 28,20% berasal dari situs website, 6.40% dari media cetak serta 8.70% berasal dari televisi/radio. Dari data tersebut mengungkapkan bahwa tingginya informasi palsu yang beredar di internet, cenderung melalui media sosial. Hal tersebut membawa kekhawatiran kepada pemilih pemula, mereka yang cenderung memanfaatkan media sosial sebagai rujukan informasinya lebih rentan terpapar hoax daripada mereka yang memanfaatkan situs resmi maupun sumber informasi lainnya.

Tingginya penyebaran informasi hoax pada pesta demokrasi sebelumnya, membuat pemilih pemula perlu untuk mengebangkan pemikiran kritis dalam mengevaluasi informasi di media sosial. Perlunya mengembangkan pemikiran kritis dalam mengevaluasi informasi, yaitu karena beragamnya konten informasi yang disajikan baik dari media nasional, situs resmi hingga penulis anonim memiliki heterogenitas dalam segi kualitas serta keakuratan informasi.

C. Kesimpulan

Pemilu yang demokratis paling tidak harus memiliki 5 pilar diantaranya adalah regulasi yang jelas, peserta pemilu yang berkompeten, pemilih yang cerdas, penyelenggara pemilu yang berintegritas, dan birokrasi yang netral. Dimana pilar yang satu saling mendukung dengan pilar yang lainnya. Tanpa satu pilar, maka tidak mungkin mencapai pemilu yang demokratis, kelimanya harus saling menguatkan. Sehingga menjadi tanggung jawab Bersama bagi KPU sebagai penyelenggara, Bawaslu sebagai pengawas, serta partai politik dan calon perseorangan untuk menyajikan data yang akurat, benar dan terpercaya. Kemudian diharapkan juga adanya tim siber yang dapat mendeteksi pelanggaran di media sosial, seperti oknum penyebaran berita hoaxs, isu politik identitas dan ujaran kebencian, kemudian ada regulasi yang jelas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.

Oleh: Syarif Hidayatullah, S.Pd (Komisioner PPK Kampung Melayu Kota Bengkulu)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini